Keep Bandung Beatiful euy.......

15 Mei 2007

Bandung Tempoe Doeloe video


Bandung Tempoe Doeloe


Parisj Van Java

SEJARAH BANDUNG

Oleh: A. Sobana Hardjasaputra

Mengenai asal-usul nama "Bandung", dikemukakan berbagai pendapat. Sebagian mengatakan bahwa, kata "Bandung" dalam bahasa Sunda, identik dengan kata "banding" dalam Bahasa Indonesia, berarti berdampingan. Ngabanding (Sunda) berarti berdampingan atau berdekatan. Hal ini antara lain dinyatakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka (1994) dan Kamus Sunda-Indonesia terbitan Pustaka Setia (1996), bahwa kata bandung berarti berpasangan dan berarti pula berdampingan.

Pendapat lain mengatakan, bahwa kata "bandung" mengandung arti besar atau luas. Kata itu berasal dari kata bandeng. Dalam bahasa Sunda, ngabandeng berarti genangan air yang luas dan tampak tenang, namun terkesan menyeramkan. Diduga kata bandeng itu kemudian berubah bunyi menjadi Bandung. Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa kata Bandung berasal dari kata bendung.

Pendapat-pendapat tentang asal dan arti kata Bandung, rupanya berkaitan dengan peristiwa terbendungnya aliran Sungai Citarum purba di daerah Padalarang oleh lahar Gunung Tangkuban Parahu yang meletus pada masa holosen (± 6000 tahun yang lalu).

Akibatnya, daerah antara Padalarang sampai Cicalengka (± 30 kilometer) dan daerah antara Gunung Tangkuban Parahu sampai Soreang (± 50 kilometer) terendam menjadi sebuah danau besar yang kemudian dikenal dengan sebutan Danau Bandung atau Danau Bandung Purba. Berdasarkan hasil penelitian geologi, air Danau Bandung diperkirakan mulai surut pada masa neolitikum (± 8000 - 7000 sebelum Masehi). Proses surutnya air danau itu berlangsung secara bertahap dalam waktu berabad-abad.

Secara historis, kata atau nama Bandung mulai dikenal sejak di daerah bekas danau tersebut berdiri pemerintah Kabupaten bandung (sekitar decade ketiga abad ke-17). Dengan demikian, sebutan Danau Bandung terhadap danau besar itu pun terjadi setelah berdirinya Kabupaten Bandung.

Berdirinya Kabupaten Bandung

Sebelum Kabupaten Bandung berdiri, daerah Bandung dikenal dengan sebutan "Tatar Ukur". Menurut naskah Sadjarah Bandung, sebelum Kabupaten Bandung berdiri, Tatar Ukur adalah termasuk daerah Kerajaan Timbanganten dengan ibukota Tegalluar. Kerajaan itu berada dibawah dominasi Kerajaan Sunda-Pajajaran. Sejak pertengahan abad ke-15, Kerajaan Timbanganten diperintah secara turun temurun oleh Prabu Pandaan Ukur, Dipati Agung, dan Dipati Ukur. Pada masa pemerintahan Dipati Ukur, Tatar Ukur merupakan suatu wilayah yang cukup luas, mencakup sebagian besar wilayah Jawa Barat, terdiri atas sembilan daerah yang disebut "Ukur Sasanga".

Setelah Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh (1579/1580) akibat gerakan Pasukan banten dalam usaha menyebarkan agama Islam di daerah Jawa Barat, Tatar Ukur menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sumedanglarang, penerus Kerajaan Pajajaran. Kerajaan Sumedanglarang didirikan dan diperintah pertama kali oleh Prabu Geusan Ulun pada (1580-1608), dengan ibukota di Kutamaya, suatu tempat yang terletak sebelah Barat kota Sumedang sekarang. Wilayah kekuasaan kerajaan itu meliputi daerah yang kemudian disebut Priangan, kecuali daerah Galuh (sekarang bernama Ciamis).

Ketika Kerajaan Sumedang Larang diperintah oleh Raden Suriadiwangsa, anak tiri Geusan Ulun dari rtu Harisbaya, Sumedanglarang menjadi daerah kekuasaan Mataram sejak tahun 1620. Sejak itu status Sumedanglarang pun berubah dari kerajaan menjadi kabupaten dengan nama Kabupaten Sumedang. Mataram menjadikan Priangan sebagai daerah pertahanannya di bagian Barat terhadap kemungkinan serangan Pasukan Banten dan atau Kompeni yang berkedudukan di Batavia, karena Mataram di bawah pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) bermusuhan dengan Kompeni dan konflik dengan Kesultanan Banten.

Untuk mengawasi wilayah Priangan, Sultan Agung mengangkat Raden Aria Suradiwangsa menjadi Bupati Wedana (Bupati Kepala) di Priangan (1620-1624), dengan gelar Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata, terkenal dengan sebutan Rangga Gempol I.

Tahun 1624 Sultan agung memerintahkan Rangga Gempol I untuk menaklukkan daerah Sampang (Madura). Karenanya, jabatan Bupati Wedana Priangan diwakilkan kepada adik Rangga Gempol I pangeran Dipati Rangga Gede. Tidak lama setelah Pangeran Dipati Rangga Gede menjabat sebagai Bupati Wedana, Sumedang diserang oleh Pasukan Banten. Karena sebagian Pasukan Sumedang berangkat ke Sampang, Pangeran Dipati Rangga Gede tidak dapat mengatasi serangan tersebut. Akibatnya, ia menerima sanksi politis dari Sultan Agung. Pangeran Dipati Rangga Gede ditahan di Mataram. Jabatan Bupati Wedana Priangan diserahkan kepada Dipati Ukur, dengan syarat ia harus dapat merebut Batavia dari kekuasaan Kompeni.

Tahun 1628 Sultan Agung memerintahkan Dipati Ukur untuk membantu pasukan Mataram menyerang Kompeni di Batavia. Akan tetapi serangan itu mengalami kegagalan. Dipati Ukur menyadari bahwa sebagai konsekwensi dari kegagalan itu ia akan mendapat hukuman seperti yang diterima oleh Pangeran Dipati Rangga gede, atau hukuman yang lebih berat lagi. Oleh karena itu Dipati Ukur beserta para pengikutnya membangkang terhadap Mataram. Setelah penyerangan terhadap Kompeni gagal, mereka tidak datang ke Mataram melaporkan kegagalan tugasnya. Tindakan Dipati Ukur itu dianggap oleh pihak Mataram sebagai pemberontakan terhadap penguasa Kerajaan Mataram.

Terjadinya pembangkangan Dipati Ukur beserta para pengikutnya dimungkinkan, antara lain karena pihak Mataram sulit untuk mengawasi daerah Priangan secara langsung, akibat jauhnya jarak antara Pusat Kerajaan Mataram dengan daerah Priangan. Secara teoritis, bila daerah tersebut sangat jauh dari pusat kekuasaan, maka kekuasaan pusat di daerah itu sangat lemah. Walaupun demikian, berkat bantuan beberapa Kepala daerah di Priangan, pihak Mataram akhirnya dapat memadamkan pemberontakan Dipati Ukur. Menurut Sejarah Sumedang (babad), Dipati Ukur tertangkap di Gunung Lumbung (daerah Bandung) pada tahun 1632.

Setelah "pemberontakan" Dipati Ukur dianggap berakhir, Sultan Agung menyerahkan kembali jabatan Bupati Wedana Priangan kepada Pangeran Dipati Rangga Gede yang telah bebas dari hukumannya. Selain itu juga dilakukan reorganisasi pemerintahan di Priangan untuk menstabilkan situasi dan kondisi daerah tersebut. Daerah Priangan di luar Sumedang dan Galuh dibagi menjadi tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Bandung, Kabupaten Parakanmuncang dan Kabupaten Sukapura dengan cara mengangkat tiga kepala daerah dari Priangan yang dianggap telah berjasa menumpas pemberontakan Dipati Ukur.

Ketiga orang kepala daerah dimaksud adalah Ki Astamanggala, umbul Cihaurbeuti diangkat menjadi mantri agung (bupati) Bandung dengan gelar Tumenggung Wiraangunangun, Tanubaya sebagai bupati Parakanmuncang dan Ngabehi Wirawangsa menjadi bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha. Ketiga orang itu dilantik secara bersamaan berdasarkan "Piagem Sultan Agung", yang dikeluarkan pada hari Sabtu tanggal 9 Muharam Tahun Alip (penanggalan Jawa). Dengan demikian, tanggal 9 Muharam Taun Alip bukan hanya merupakan hari jadi Kabupagten Bandung tetapi sekaligus sebagai hari jadi Kabupaten Sukapura dan Kabupaten Parakanmuncang.

Berdirinya Kabupaten Bandung, berarti di daerah Bandung terjadi perubahan terutama dalam bidang pemerintahan. Daerah yang semula merupakan bagian (bawahan) dari pemerintah kerajaan (Kerajaan Sunda-Pajararan kemudian Sumedanglarang) dengan status yang tidak jelas, berubah menjadi daerah dengan sttus administrative yang jelas, yaitu kabupaten.

Setelah ketiga bupati tersebut dilantik di pusat pemerintahan Mataram, mereka kembali ke daerah masing-masing. Sadjarah Bandung (naskah) menyebutkan bahwa Bupati Bandung Tumeggung Wiraangunangun beserta pengikutnya dari Mataram kembali ke Tatar Ukur. Pertama kali mereka dating ke Timbanganten. Di sana bupati Bandung mendapatkan 200 cacah. Selanjutnya Tumenanggung Wiraangunangun bersama rakyatnya membangun Krapyak, sebuah tempat yang terletak di tepi Sungat Citarum dekat muara Sungai Cikapundung, (daerah pinggiran Kabupaten Bandung bagian Selatan) sebagai ibukota kabupaten. Sebagai daerah pusat kabupaten Bandung, Krapyak dan daerah sekitarnya disebut Bumi kur Gede.

Wilayah administrative Kabupaten Bandung di bawah pengaruh Mataram (hingga akhir abad ke-17), belum diketahui secara pasti, karena sumber akurat yang memuat data tentang hal itu tidak/belum ditemukan. Menurut sumber pribumi, data tahap awal Kabupaten Bandung meliputi beberapa daerah antara lain Tatar Ukur, termasuk daerah Timbanganten, Kuripan, Sagaraherang, dan sebagian Tanahmedang.

Boleh jadi, daerah Priangan di luar Wilayah Kabupaten Sumedang, Parakanmuncang, Sukapura dan Galuh, yang semula merupakan wilayah Tatar Ukur (Ukur Sasanga) pada masa pemerintahan Dipati Ukur, merupakan wilayah administrative Kabupaten Bandung waktu itu. Bila dugaan ini benar, maka Kabupaten Bandung dengan ibukota Krapyak, wilayahnya mencakup daerah Timbanganten, Gandasoli, Adiarsa, Cabangbungin, Banjaran, Cipeujeuh, Majalaya, Cisondari, Rongga, Kopo, Ujungberung dan lain-lain, termasuk daerah Kuripan, Sagaraherang dan Tanahmedang.

Kabupaten Bandung sebagai salah satu Kabupaten yang dibentuk Pemerintah Kerajaan Mataram, dan berada di bawah pengaruh penguasa kerajaan tersebut, maka sistem pemerintahan Kabupaten Bandung memiliki sistem pemerintahan Mataram. Bupati memiliki berbagai jenis symbol kebesaran, pengawal khusus dan prajurit bersenjata. Simbol dan atribut itu menambah besar dan kuatnya kekuasaan serta pengaruh Bupti atas rakyatnya.

Besarnya kekuasaan dan pengaruh bupati, antara lain ditunjukkan oleh pemilikan hak-hak istimewa yang biasa dmiliki oleh raja. Hak-hak dimaksud adalah hak mewariskan jabatan, ha memungut pajak dalam bentuk uang dan barang, ha memperoleh tenaga kerja (ngawula), hak berburu dan menangkap ikan dan hak mengadili.

Dengan sangat terbatasnya pengawasan langsung dari penguasa Mataram, maka tidaklah heran apabila waktu itu Bupati Bandung khususnya dan Bupati Priangan umumnya berkuasa seperti raja. Ia berkuasa penuh atas rakyat dan daerahnya. Sistem pemerinatahn dan gaya hidup bupati merupakan miniatur dari kehidupan keraton. Dalam menjalankan tugasnya, bupati dibantu oleh pejabat-pejabat bawahannya, seperti patih, jaksa, penghulu, demang atau kepala cutak (kepala distrik), camat (pembantu kepala distrik), patinggi (lurah atau kepala desa) dan lain-lain.

Kabupaten Bandung berada dibawah pengaruh Mataram sampai akhir tahun 1677. Kemudian Kabupaten Bandung jatuh ketangan Kompeni. Hal itu terjadi akibat perjanjian Mataram-Kompeni (perjanjian pertama) tanggal 19-20 Oktober 1677. Di bawah kekuasaan Kompeni (1677-1799), Bupati Bandung dan Bupati lainnya di Priangan tetap berkedudukan sebagai penguasa tertinggi di kabupaten, tanpa ikatan birokrasi dengan Kompeni.

Sistem pemerintahan kabupaten pada dasarnya tidak mengalami perubahan, karena Kompeni hanya menuntut agar bupati mengakui kekuasaan Kompeni, dengan jaminan menjual hasil-hasil bumi tertentu kepada VOC. Dalam hal ini bupati tidak boleh mengadakan hubungan politik dan dagang dengan pihak lain. Satu hal yang berubah adalah jabatan bupati wedana dihilangkan. Sebagai gantinya, Kompeni mengangkat Pangeran Aria Cirebon sebagai pengawas (opzigter) daerah Cirebon-Priangan (Cheribonsche Preangerlandan).

Salah satu kewajiban utama bupati terhadap kompeni adalah melaksanakan penanaman wajib tanaman tertentu, terutama kopi, dan menyerahkan hasilnya. Sistem penanaman wajib itu disebut Preangerstelsel. Sementara itu bupati wajib memelihara keamanan dan ketertiban daerah kekuasaannya. Bupati juga tidak boleh mengangkat atau memecat pegawai bawahan bupati tanpa pertimbangan Bupati Kompeni atau penguasa Kompeni di Cirebon. Agar bupati dapat melaksanakan kewajiban yang disebut terakhir dengan baik, pengaruh bupati dalam bidang keagamaan, termasuk penghasilan dari bidang itu, seperti bagian zakar fitrah, tidak diganggu baik bupati maupun rakyat (petani) mendapat bayaran atas penyerahan kopi yang besarnya ditentukan oleh Kompeni.

Hingga berakhirnya kekuasaan Kompeni-VOC akhir tahun 1779, Kabupaten Bandung beribukota di Krapyak. Selama itu Kabupaten Bandung diperintah secara turun temurun oleh enam orang bupati. Tumenggung Wiraangunangun (merupakan bupati pertama) ankatan Mataram yang memerintah sampai tahun 1681. Lima bupati lainnya adalah bupati angkatan Kompeni yakni Tumenggung Ardikusumah yang memerintah tahun 1681-1704, Tumenggung Anggadireja I (1704-1747), Tumenggung Anggadireja II (1747-1763), R. Anggadireja III dengan gelar R.A. Wiranatakusumah I (1763-1794) dan R.A. Wiranatakusumah II yang memerintah dari tahun 1794 hingga tahun 1829. Pada masa pemerintahan bupati R.A. Wiranatakusumah II, ibukota Kabupaten Bandung dipindahkan dari Karapyak ke Kota Bandung.

Berdirinya Kota Bandung

Ketika Kabupaten Bandung dipimpin oleh Bupati RA Wiranatakusumah II, kekuasaan Kompeni di Nusantara berakhir akibat VOC bangkrut (Desember 1799). Kekuasaan di Nusantara selanjutnya diambil alih oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan Gubernur Jenderal pertama Herman Willem Daendels (1808-1811).

Sejalan dengan perubahan kekuasaan di Hindia Belanda, situasi dan kondisi Kabupaten Bandung mengalami perubahan. Perubahan yang pertama kali terjadi adalah pemindahan ibukota kabupaten dari Krapyak di bagian Selatan daerah Bandung ke Kota Bandung yang ter;etak di bagian tengah wilayah kabupaten tersebut.

Antara Januari 1800 sampai akhir Desember 1807 di Nusantara umumnya dan di Pulau Jawa khususnya, terjadi vakum kekuasaan asing (penjajah), karena walaupun Gubernur Jenderal Kompeni masih ada, tetapi ia sudah tidak memiliki kekuasaan. Bagi para bupati, selama vakum kekuasaan itu berarti hilangnya beban berupa kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi bagi kepentingan penguasa asing (penjajah). Dengan demikian, mereka dapat mencurahkan perhatian bagi kepentingan pemerintahan daerah masing-masing. Hal ini kiranya terjadi pula di Kabupaten Bandung.

Menurut naskah Sadjarah Bandung, pada tahun 1809 Bupati Bandung Wiranatakusumah II beserta sejumlah rakyatnya pindah dari Karapyak ke daerah sebelah Utara dari lahan bakal ibukota. Pada waktu itu lahan bakal Kota Bandung masih berupa hutan, tetapi di sebelah utaranya sudah ada pemukiman, yaitu Kampung Cikapundung Kolot, Kampung Cikalintu, dan Kampung Bogor. Menurut naskah tersebut, Bupati R.A. Wiranatakusumah II pindah ke Kota Bandung setelah ia menetap di tempat tinggal sementara selama dua setengah tahun.

Semula bupati tinggal di Cikalintu (daerah Cipaganti) kemudian ia pindah Balubur Hilir. Ketika Deandels meresmikan pembangunan jembatan Cikapundung (jembatan di Jl. Asia Afrika dekat Gedung PLN sekarang), Bupati Bandung berada disana. Deandels bersama Bupati melewati jembatan itu kemudian mereka berjalan ke arah timur sampai disuatu tempat (depan Kantor Dinas PU Jl. Asia Afrika sekarang). Di tempat itu deandels menancapkan tongkat seraya berkata: "Zorg, dat als ik terug kom hier een stad is gebouwd!" (Usahakan, bila aku datang kembali ke sini, sebuah kota telah dibangun!". Rupanya Deandels menghendaki pusat kota Bandung dibangun di tempat itu.

Sebagai tindak lanjut dari ucapannya itu, Deandels meminta Bupati Bandung dan Parakanmuncang untuk memindahkan ibukota kabupaten masing-masing ke dekat Jalan Raya Pos. Permintaan Deandels itu disampaikan melalui surat tertanggal 25 Mei 1810.

Pindahnya Kabupaten Bandung ke Kota Bandung bersamaan dengan pengangkatan Raden Suria menjadi Patih Parakanmuncang. Kedua momentum tersebut dikukuhkan dengan besluit (surat keputusan) tanggal 25 September 1810. Tanggal ini juga merupakan tanggal Surat Keputusan (besluit), maka secara yuridis formal (dejure) ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Bandung.

Boleh jadi bupati mulai berkedudukan di Kota Bandung setelah di sana terlebih dahulu berdiri bangunan pendopo kabupaten. Dapat dipastikan pendopo kabupaten merupakan bangunan pertama yang dibangun untuk pusat kegiatan pemerintahan Kabupaten Bandung.

Berdasarkan data dari berbagai sumber, pembangunan Kota Bandung sepenuhnya dilakukan oleh sejumlah rakyat Bandung dibawah pimpinan Bupati R.A. Wiranatakusumah II. Oleh karena itu, dapatlah dikatakan bahwa bupati R.A. Wiranatakusumah II adalah pendiri (the founding father) kota Bandung.

Berkembangnya Kota Bandung dan letaknya yang strategis yang berada di bagian tengah Priangan, telah mendorong timbulnya gagasan Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1856 untuk memindahkan Ibukota Keresiden priangan dari Cianjur ke Bandung. Gagasan tersebut karena berbagai hal baru direalisasikan pada tahun 1864. Berdasarkan Besluit Gubernur Jenderal tanggal 7 Agustus 1864 No.18, Kota Bandung ditetapkan sebagai pusat pemerintahan Keresidenan Priangan. Dengan demikian, sejak saat itu Kota Bandung memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai Ibukota Kabupaten Bandung sekaligus sebagai ibukota Keresidenan Priangan. Pada waktu itu yang menjadi Bupati Bandung adalah R.A. Wiranatakusumah IV (1846-1874).

Sejalan dengan perkembangan fungsinya, di Kota Bandung dibangun gedung keresidenan di daerah Cicendo (sekarang menjadi Rumah Dinas Gubernur Jawa Barat) dan sebuah hotel pemerintah. Gedung keresidenan selesai dibangun tahun 1867.

Perkembangan Kota Bandung terjadi setelah beroperasi transportasi kereta api dari dan ke kota Bandung sejak tahun 1884. Karena Kota Bandung berfungsi sebagai pusat kegiatan transportasi kereta api "Lin Barat", maka telah mendorong berkembangnya kehidupan di Kota Bandung dengan meningkatnya penduduk dari tahun ke tahun.
Di penghujung abad ke-19, penduduk golongan Eropa jumlahnya sudah mencapai ribuan orang dan menuntut adanya lembaga otonom yang dapat mengurus kepentingan mereka. Sementara itu pemerintah pusat menyadari kegagalan pelaksanaan sistem pemerintahan sentralistis berikut dampaknya. Karenanya, pemerintah sampai pada kebijakan untuk mengganti sistem pemerintahan dengan sistem desentralisasi, bukan hanya desentralisasi dalam bidang keuangan, tetapi juga desentralisasi dalam pemberian hak otonomi bidang pemerintahan (zelfbestuur)

Dalam hal ini, pemerintah Kabupaten Bandung di bawah pimpinan Bupati RAA Martanagara (1893-1918) menyambut baik gagasan pemerintah kolonial tersebut. Berlangsungnya pemerintahan otonomi di Kota Bandung, berarti pemerintah kabupaten mendapat dana budget khusus dari pemerintah kolonial yang sebelumnya tidak pernah ada.

Berdasarkan Undang-undang Desentralisasi (Decentralisatiewet) yang dikeluarkan tahun 1903 dan Surat Keputusan tentang desentralisasi (Decentralisasi Besluit) serta Ordonansi Dewan Lokal (Locale Raden Ordonantie) sejak tanggal 1 April 1906 ditetapkan sebagai gemeente (kotapraja) yang berpemerintahan otonomom. Ketetapan itu semakin memperkuat fungsi Kota Bandung sebagai pusat pemerintahan, terutama pemerintahan Kolonial Belanda di Kota Bandung. Semula Gemeente Bandung
Dipimpin oleh Asisten Residen priangan selaku Ketua Dewan Kota (Gemeenteraad), tetapi sejak tahun 1913 gemeente dipimpin oleh burgemeester (walikota).

Sumber: Kota-kota Lama di Jawa Barat
Penerbit: Alqaprint Jatinangor
sundanet

Hayu ka Bandung (COME!! to Bandung)


Tea Plantation - South of BandungThe location of 700 m high in the West Java Highlands has the advantage not only of cool tropical climate but also of providing the perfect base for exploring the wonders of nature that begin on the doorstep.
Bandung is a city where the past meets the future and east meets west. Bandung is center of government administration, a center of education and intellectual activity, traditional Sundanese culture, tourism, high-tech industry, commercial enterprise and fashion industry. Growth in the last twenty years is everywhere to be seen, from new international-class hotels complexes (Sheraton Bandung Hotel, Holiday Inn Bandung Hotel, Hyatt Bandung Hotel, etc) to an increase in industries, towering office buildings and new residential ventures. Bandung has claim to being one of the liveliest and most varied cosmopolitan cities in the entire Indonesian archipelago can hardly be questioned.

Old Homann - Bandung Tempo DuluThe international face of Bandung is evident everywhere you turn. Once a Dutch colonial commercial and administrative center, Bandung has felt the presence of foreigners through-out history; in fact, the city was first formally established on the orders of Dutch general in 1810. One of the city’s proud claims is to internationality is that it was the venue of the Asia-Africa Conference in 1955; at which the influential Non-Aligned Movement was founded.

Presently, a large foreign community numbering in the thousands contributes to the cosmopolitan atmosphere for which Bandung has long been known; that’s known as “The Paris of Java”. Their number and national diversity are apparent in social and sports clubs and hal a dozen international schools. Aside from this species of foreigner, there also a significant number who proudly consider Bandung their home.

An advantage of being a city in which many currents commingle is the variety of cultural activity in Bandung. To begin with there is traditional Sundanese music of performance venue from neighborhood to five-stars hotel. In addition, international classical and jazz concerts, films, theater and graphics arts are brought to Bandung by such organizations as the Goethe Institute and French Cultural Center.

Colorful and lively, numerous early morning fruit and vegetables markets are scattered throughout the city and are the place to go for a really local shopping experience. In contrast, there are plenty of supermarkets, most of which carry imported foods. For other consumer items there is the flashy Bandung Indah Plaza, Bandung Super Mall, Instana Plaza Bandung, Bandung Electronic Center, Bandung Trade Center, Bandung Commodity Center.

Bandung is also known for its wealth of clothing outlets, attracting a huge number of visitors from surrounding cities (particularly from Jakarta), especially during weekends and holidays:

1. Denim clothing industry outlets along the street of Cihampelas.
2. Bandung has earned the nickname "Kota Wisata Belanja" - Shopping Tourist City - because of the many factory outlets which sell ex-export garment products.
3. Bandung is also known for its garment industry. Products that were made as export items that did not get exported are sold at cheaper price in outlets (in local speak: 'factory outlet') in Bandung, particularly along Jalan Ir. H. Juanda (Dago) and Jalan R.E. Martadinata (Riau).
4. There is also a flourishing shoe industry in Cibaduyut in southern Bandung.

Bandung is also famous for its food; it is well-known for its many contributions to the culinary world such peuyeum, batagor, comro, and the bajigur drink. Peuyeum is made from fermented sago. Batagor is an acronym for baso tahu goreng, literally translates to deep-fried fish/meatballs and tofu. Comro is an acronym for oncom di jero, which translates to oncom inside. Bajigur is a sweet traditional drink served warm, and is popular in the evenings as Bandung's climate is more temperate than the rest of Indonesia.
http://www.visitbandung.net

11 Mei 2007

Kota Bandung Akan Miliki ”Bajigur Centre”


BAJIGUR selama ini dikenal sebagai minuman pinggir jalan. Tak lama lagi, minuman khas Sunda ini akan naik ”pangkat”. Bahkan, tak tanggung-tanggung minuman tersebut akan menjadi satu ”trade mark” bangunan, yang diharapkan akan menjadi tujuan wisata di Kota Bandung. Yaitu ”Bajigur Centre”.

Adalah Wali Kota Bandung Dada Rosada, yang mengatakan pusat jajanan bajigur yang dinamakan ”Bajigur Centre” dan akan dibangun di Padepokan Seni Kota Bandung di Jln. Peta No.209 Bandung. Dada menargetkan, dalam pekan depan pusat jajanan ini sudah bisa melayani pengunjung.

Hal itu dikemukakan Dada Rosada di sela-sela acara pelantikan Forum RW Kelurahan Kec. Bojongloa Kaler di Padepokan Seni Kota Bandung, Jln. Peta No. 209 Bandung, Rabu (9/5).

Di ”Bajigur Centre”, lanjut dia, akan tersedia berbagai makanan dan minuman khas Bandung, terutama bajigur dan bandrek. Kudapan yang wajib tersedia di antaranya berbagai kulub-kuluban, comro, dan aneka gorengan.

Untuk modal pertama, Dada akan merogoh dari koceknya sendiri serta bantuan beberapa pihak swasta. Ia bahkan akan menggratiskan semua makanan dan minuman yang dijual pada pembukaan perdana ”Bajigur Centre”. ”Yang ini mah tidak usah menunggu dana Bawaku (bantuan wali kota khusus-red) segala,” ujar dia, disambut riuh tepuk tangan para tamu undangan.

Dada menggagas ‘Bajigur Centre” di antaranya karena saat ini pusat bajigur dan bandrek yang terkenal di Kota Bandung, sudah sulit ditemukan. ”Dulu ‘kan ada di Jln. Supratman, tapi sekarang sudah tidak ada karena pindah ke Jln. Cilaki. Kita bikin di tempat yang lebih representatif,” katanya.

Pada tahap awal, ”Bajigur Centre” hanya dibuka setiap Sabtu malam. Akan tetapi, Dada menghendaki agar kegiatan itu nantinya diselenggarakan setiap malam. Kriteria yang paling ditentukan, lanjut dia, makanan itu harus bersih, enak, dan bagus cara penyajiannya.

Rp 50 juta

Tidak tanggung-tanggung, sebagai bagian persiapan membangun ”Bajigur Centre”, Dada menjanjikan dana Rp 50 juta untuk mempercantik gedung padepokan. Kepala Dinas Pariwisata Daerah Kota Bandung, H.M. Askary menyatakan, dirinya akan secepatnya membentuk tim penilai kualitas rasa bajigur, bandrek, dan kudapan yang akan dijual di ”Bajigur Center”.

Tim penyeleksi yang dimaksud Askary itu, akan melibatkan Forum RW Kelurahan di Kec. Bojongloa Kaler dan ibu-ibu penggerak PKK. ”Tim ini bertugas untuk menyeleksi makanan dan minuman yang layak jual di sini,” tuturnya.

Saat ini, menurut dia, di Kota Bandung terdapat empat padepokan seni, yaitu Taman Budaya Dago yang dikelola Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jabar, Yayasan Pusat Kebudayaan (YPK) yang dikelola Uu Rukmana, Gedung Kesenian Rumentang Siang yang dikelola para seniman, dan Gedung Kesenian di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI). Dinas Pariwisata Daerah (Diparda) Kota Bandung hanya mengelola Padepokan Seni Kota Bandung di Jln. Peta.

Askary mengatakan, selama ini tidak ada anggaran khusus yang dialokasikan dalam APBD 2007 untuk memelihara dan merawat gedung padepokan. ”Sekarang kan swadaya, kalau kebetulan ada yang sewa untuk kawinan, bisa untuk memperbaiki paving block atau lainnya,” katanya.

Semula, kantor Diparda Kota Bandung berencana akan dipindahkan ke padepokan agar mempermudah perawatan. Namun, rencana ini kandas karena dana yang dibutuhkan belum tersedia. (Lina Nursanty/”Pikiran Rakyat”)


Jujur Walau Kekurangan
SUATU hari pada bulan Agustus, cuaca panas terasa menyengat. Usai melakukan aktivitas rutin mengumpulkan bahan berita, penulis memacu kendaraan menuju Gedung Sate tempat mangkal teman seprofesi. Memasuki Jln. Seram, penulis melihat seorang bocah penjual cobek terlelap di bawah pohon pelindung dengan posisi kaki menjuntai ke jalan raya. Suara kendaraan yang lalu lalang pun tak mampu membangunkan sang bocah dari mimpinya.

Penulis sempat membangunkan untuk mengingatkan bahwa posisi tidurnya membahayakan karena kakinya bisa saja tertabrak kendaraan. Namun, mahalnya sebuah mimpi indah membuat bocah yang kemudian diketahui bernama Saripudin tak juga terbangun. Di seberang jalan, tepatnya di simpang Jln. Aceh-Jln.Sumbawa-Jln. Seram, bocah lain penjual cobek sedang duduk termenung. Ketika dihampiri, bocah tersebut bernama Aceng (15). Dari Acenglah penulis mengetahui bahwa yang tertidur di Jln. Seram bernama Saripudin.

Aceng mengaku, mereka berasal dari Gunungbentang daerah Padalarang. Cobek yang mereka jual dengan harga Rp 10 ribu hingga Rp 20 ribu juga asli buatan Padalarang. Pada akhir pembicaraan, penulis memberi Aceng dua lembar uang kertas. Sebelum pergi, penulis berpesan bahwa satu lembar tadi untuk diberikan kepada temannya Saripudin yang masih tertidur lelap. Penulis kemudian berhenti sejenak di Jln. Ambon, untuk sekadar menoleh ke arah Aceng. Kali ini, Aceng ternyata berjalan meninggalkan dagangannya menuju Saripudin yang jaraknya sekira 100 meter. Aceng membangunkan temannya itu dan kemudian memberikan selembar uang titipan penulis.

Perasaan sedih, kagum, salut, muncul dalam perasaan penulis. Bagaimana seorang Aceng mampu bersikap jujur. Padahal, bisa saja Aceng menyimpan uang untuk dirinya sendiri, toh Saripudin tidak tahu karena terlelap tidur dan penulis yang memberinya pun telah pergi. (endri/"Galamedia")**

Nikmatnya Lobster Pantai Santolo


SEORANG wisatawan mancanegara asal Kanada, geleng-geleng kepala di depan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Santolo, Cilauteureun, Kec. Cikelet, Garut, beberapa waktu lalu. Raut mukanya tampak memperlihatkan kekecewaan yang mendalam, termasuk ketika ia mengabadikan sudut-sudut pantai lautan tersebut dengan handycam-nya.

"Sayang, sayang sekali ini pantai tidak diurus," kata pria yang mengaku bernama Culning tersebut dengan menggunakan bahasa Indonesia "patah-patah".

Dalam percakapannya, Kang Culning mengatakan, Pantai Santolo yang berada di kawasan selatan Garut itu seharusnya bisa menjadi objek wisata terkenal di Garut. Jika beruntung, keberadaannya bahkan bisa seperti Pantai Pangandaran di Kab. Ciamis. Potensi perikanannya bagus, pemandangan alamnya pun masih asri.

Di Santolo juga, katanya, ada restoran seafood yang bisa menjelma seperti Talanca, pusat restoran seafood di Pangandaran. Hanya sayangnya, katanya, pantai tersebut tidak diurus maksimal. "Yang perlu disesalkan, kok pantai ini seperti mau 'dicaplok' Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), ya? Apakah pemerintah mengetahui itu. Bagusnya, Lapan tidak seperti itu," kata Kang Culning seraya meninggalkan "PR". Betulkah?

Pantai Santolo adalah salah satu kekayaan Pemkab Garut di sektor pariwisata selain Cipanas di Tarogong, Candi Cangkuang, dan Situ Bagendit. Lokasinya berada sekitar 90 km dari Kota Garut, ke arah selatan. Yang menjadi "jualan" pantai ini tentu saja suasana pantai dengan debur ombak laut selatannya yang masih asri.

Di pantai ini, kita bisa menyaksikan aktivitas nelayan baik ketika akan berangkat melaut, maupun setelah menambatkan jangkar dengan membawa hasil tangkapan. Di pantai ini juga kita bisa bermain lumpur atau bercanda dengan air laut di bibir pantai, atau bahkan mencari kepiting dan "kumang".

Bosan dengan aktivitas seperti itu, kita bisa lesehan di restoran di tepi pantai. Yang lebih nikmat lagi, kita dapat menikmati lobster dan cumi goreng, atau ikan laut bakar dengan sambara rica-rica atau apa saja sesuai selera. Rasanya pasti "mak nyos".

Ya, pasalnya, makan seafood di restoran seafood di Bandung, misalnya, akan lain rasanya jika makan langsung di kawasan pantai dengan ditingkah debur ombak lautan. Akan lebih spesial lagi jika ada kekasih atau siapa saja di samping.

Pada bulan-bulan tertentu, seperti halnya di kawasan pantai lain di Jawa Barat, di Pantai Santolo juga sering diselenggarakan hajatan nelayan. Dalam hajatan itu, para nelayan dengan membawa sesajen membawa perahu ke laut lepas. Di laut lepas, sesajen "dipersembahkan" kepada yang ngageugeuh laut pantai selatan. Atraksi kesenian tradisional pun dipentaskan dalam hajatan nelayan tersebut.

Sayangnya, seperti dikatakan Culning, Pantai Santolo belum dikemas menjadi objek wisata yang menjual. Dan kondisi ini tentu jadi tantangan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Garut. Hal itu dapat tergambar dari sempitnya lahan pantai untuk bermain para pengunjung. Padahal, areal pantai di Santolo sungguh luas.

Sambutan pengelola wisata bagi wisatawan pun, nyaris tidak ada ketika berada di Santolo, kecuali "sambutan" petugas tiket di pintu masuk Santolo. Sisi lainnya, Pemkab Garut pun sepertinya tidak bergairah mempromosikan Santolo secara gencar.

Akibatnya, walaupun Santolo punya potensi, sampai saat ini pengunjung Santolo belum begitu banyak. Menurut catatan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Garut, pada tahun 2006 saja, Santolo hanya didatangi oleh sebanyak 24 wisatawan mancanegara, dan sebanyak 25.606 wisatawan domestik. Sebuah angka yang dianggap sangat rendah, tentu.

**

SEBENARNYA, bisa dipahami jika Pemkab Garut belum mengelola Santolo secara maksimal termasuk memaksimalkan promosi wisatanya. Penyebabnya karena Santolo sejak puluhan tahun lalu sampai sekarang bisa dikatakan sudah "jenuh". "Santolo, untuk sementara tidak bisa dikembangkan sesuai harapan," kata Kepala Bappeda Garut Drs. H. Iman Alirahman, M.Si., dan Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Garut, Drs. H. Wawan Darmawan.

Apa pasal? Ya, karena kawasan pantai di Santolo, sampai sekarang masih dikuasai Lapan milik pemerintah. Akibatnya, Pemkab Garut tidak bisa leluasa menata kawasan pantai tersebut, terlebih mendirikan bangunan-bangunan penunjang pariwisata. Memang cukup ironis, tetapi itulah yang terjadi.

Belakangan, ada kabar menggembirakan soal Lapan di Santolo yang menjadi pusat peluncuran roket tersebut. Menurut Iman dan Wawan, pihak Lapan sudah setuju memindahkan peluncuran roketnya ke Desa Cijayana, Kec. Mekarmukti, Garut Selatan. Itu terjadi setelah Pemkab Garut meminta kesediaan Lapan untuk membantu mengembangkan dunia pariwisata di selatan Garut.

Belum ada konfirmasi dari pihak Lapan mengenai hal itu. Namun menurut Iman, Biro Umum Lapan telah merespons keinginan Pemkab Garut. Lapan, belakangan bahkan menunjukkan niat baiknya untuk segera memindahkan pusat peluncuran roket ke kawasan Cijayana Kecamatan Mekarmukti.

Berdasar catatan "PR", keberadaan Lapan sebagai pusat uji coba penerbangan roket di kawasan Pantai Santolo sudah cukup lama, seiring dengan ditetapkannya kawasan tersebut sebagai "markas" Lapan oleh pemerintah. Seiring dengan berdirinya Lapan, Santolo pun menggeliat jadi tempat wisata pantai.

Sialnya, di kemudian hari, Lapan seakan mengganggu terhadap perkembangan objek wisata Santolo dan Sayang Heulang -- pantai tetangga Santolo. Apalagi, karena Lapan telah menentukan zona-zona bahaya, di antaranya zona bahaya satu hingga radius 6.000 M dari titik pusat uji coba peluncuran roket dan zona dua hingga radius 2.000 M.

Itu artinya, jika di Lapan ada peluncuran roket, hingga radius 1.500 m segala aktivitas masyarakat di kawasan tersebut harus dihentikan karena dikhawatirkan terjadi bahaya yang dapat mengancam jiwa. Hal itu bisa dilihat bila di Lapan ada aktivitas peluncuran roket.

Iman bahkan mengatakan bahwa untuk merealisasikan rencana itu, saat ini sudah dilakukan sosialisasi bahkan pembebasan tanah seluas 300 ha di kawasan Cijayaya. Perencanaannya pun akan diupayakan sematang mungkin agar tidak timbul masalah di kemudian hari.

"Hebatnya, Lapan pun telah membuat master plan soal itu. Nantinya, di areal peluncuran akan dilengkapi dengan penghijauan dan kebutuhan lainnya agar keberadaannya bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat di sekitarnya," kata Iman.

Kabar tersebut, tak pelak, merupakan kabar baik. Hanya kita tidak bisa berharap, Santolo cepat berubah menjelma menjadi objek wisata unggulan di Garut, kecuali pihak Lapan merelakan kawasannya pelan-pelan dikelola Pemkab Garut.

Jika itu terjadi, kita akan lebih asyik lagi menikmati lobster dan cumi goreng, selain bercanda dengan kekasih di bibir Pantai Santolo. (Aam Permana Sutarwan/"pikiran rakyat")***

10 Mei 2007


Setelah diterima menjadi anggota afiliasi Google Adsense, maka langkah kedua adalah memasang kode/script di blog kita. Ada tiga program dalam Google Adsense yg dapat kita manfaatkan. Salah satunya adalah Adsense Referral di mana kita diperbolehkan untuk mempromosikan empat produksi Google di blog kita yaitu Google Picasa, Google Adsense, Google Adwords dan Google Firefox.

Keuntungan Adsense Referral: Apabila ada seorang pengunjung blog Anda yg mendaftar program Google Adsense atau Google Adwords dll melalui atau dg cara mengklik banner atau link di blog kita, maka keuntungannya sbb:

1. Google Adsense: Kita akan mendapat U$ 100 (seratus dolar) apabila pendaftar Adsense dari blog kita itu mendapat hasil U$ 100 yg pertama;

2. Google Adwords: Kita akan mendapat U$ 20 apabila pendaftar Adwords dari blog kita telah membelanjakan U$ 100 yg pertama.
3. Google Picasa: Kita akan mendapat U$ 10 cent sampai U$ 1 setiap kali ada yg mendownload program Google Picasa dg mengklik referral dari blog kita.
4. Google Firefox: Kita akan mendapat U$ 10 cent sampai U$ 1 setiap kali ada yg mendownload program Google Firefox dari blog kita.

Cara mengambil kode referral:

1. Log-in ke Google Adsense dg email dan password Anda.
2. Klik menu AdSense Setup.
3. Klik menu Referral
4. Ada dua pilihan di situ yaitu menu Wizard dan Single Page, untuk pemula biar mudah klik menu Single Page
5. Klik atau kasih tanda cek/tik di menu Google Adsense, dan pilih link atau gambar di bawahnya yg sesuai dg selera Anda kemudian kasih tanda tik/cek di gambar atau link tsb.
6. Di bagian paling bawah halaman ada menu Get Button Code, copy kode tsb dan pasang di blog Anda. Selesai.
7. Kasih tanda tik/cek di referral berikutnya yaitu Google Adwords, dan ulangi langkah nomor 5 dan 6. Begitu juga untuk Picasa dan Firefox.
http://kolom-mario.blogspot.com

09 Mei 2007

Blogger Indonesia of the Week (71): Oman Fathurahman

Oman Fathurahman has many dimensions as far as I am concerned. On blogging, he's my "student", on humility he's obviously my teacher and as a person with pesantren background, he should be an inspiration for all santris (those who study and or graduated from pesantren) for his academic quest. Make

Make no mistake, we've never met nor have we ever exchanged emails. A couple of times he just left messages in the guestbook of this blog asking some technical matters regarding blogging nitty-gritty. There are times when a strong personality (good or bad) does not need to make any strong statement to make his or her true character visible. Oman is among those persons whose humble and simple personality is so clear to me to the extent that I want to meet in person someday just to say, "Hi!"

Of course, his qualification as "Postdoctoral Research Fellow of the Alexander von Humboldt Foundation at the Department of Oriental Studies (Malaiologi), University of Cologne, Germany" who are proud to be brought up in a pesantren has added up the already long list of santri-turn-researcher longer. And the fact that he's now blogging in English make his blog content highly eligible and credible to be heard beyond Indonesia.

Speaking of pesantren graduates, I remember that in 1970s and 1980s the santris became a joke among Muslim intellectuals. At that time, the santris who held a PhD degree is a rarity. That's why when Aswab Mahasin, a prominent intellectual got his PhD in 1970s he became the first and only PhD holder. Now, person like Oman Fathurahman become a common phenomenon some of them even teach in Harvard University.

Pesantren and santri represent the rural society--the majority of our population. It, therefore, symbolizes the backwardness or forwardness of our people. The higher their education the better not only for themselves, the majority, but also for the nation as a whole. And for that, one who comes from the same background with him should take inspiration from him not only for his unquenched thirst to pursue further study but also to maintain the humble attitude when you are at the top of the tower, a quality which becomes a long tradition among santri.

PS: Comments are welcome in any of the following languages: English, Arabic, Bahasa Indonesia, Jawa & Madura.
========================
Blog: short of weblog is a web page containing structured data that is updated on a regular basis. RSS feed: a regularly updated XML document that contains metadata about a web source and the content in it. Courtesy: blogs.MIT.edu
http://www.kolom-mario.blogspot.com
Labels: Blogger Indonesia of the Week

Tidak Akan Ada Pemain yang Dilepas

Manajemen Persib tidak akan melepas satu pun pemain yang sukses mengantarkan "Pangeran Biru", menempati peringkat teratas putaran pertama kompetisi Liga Djarum Indonesia XIII 2007. Pemain yang ada dinilai sudah cukup kompak, dan jika ada yang dijual atau barter dengan pemain lain, dikhawatirkan bisa mengganggu keharmonisan klub.

"Persib ini sudah seperti keluarga. Mereka kompak dan semua mau bekerja keras untuk Persib. Karena itu, pemain tidak perlu khawatir, menghadapi putaran kedua, karena tidak akan ada pemain yang dilepas. Alangkah bodohnya saya jika melepas satu pemain pun yang ada sekarang," ujar Manajer Persib, H. Yossi Irianto, di Wisma Dharma Bhakti Jln. Bali Bandung, Senin (7/5) sore.

Yossi mengatakan, sukses Persib di putaran pertama kompetisi hasil kerja keras semua pihak, baik pemain dan ofisial. Tidak ada satu orangpun yang dinilai paling berjasa mengantarkan sukses Persib tersebut. Semua merupakan hasil kerja sama dan kekompakan pemain, ofisial, pengurus, maupun bobotoh.

"Persib memang butuh pemain tambahan, tapi saya tidak akan mengurangi jumlah pemain yang ada sekarang. Saya sependapat dengan Yusuf Bachtiar bahwa kehadiran pemain baru jangan sampai mengubah suasana klub yang sudah bagus, sehingga kami juga akan memilih secara selektif," ujarnya.

Yossi mengatakan, dalam pekan ini rencananya akan memberikan laporan kepada pengurus harian Persib, terkait hasil putaran pertama dan program berikutnya di putaran kedua.

Dalam pencarian pemain, Persib tidak akan membeli pemain melalui transfer dengan harga mahal. Persib menerima siapa saja pemain di liga saat ini, yang ingin bergabung. Kendati begitu, jika tidak mendapatkan pemain yang main di liga, tim pelatih berencana memanggil pemain Persib U-23 yang menjadi runner up Kompetisi Nasional U-23 2006.

"Sekaligus untuk memberikan pengalaman. Mereka bisa belajar ketatnya persaingan di klub yang sedang berlaga di kompetisi," ujar pelatih Arcan Iurie Anatolievici. [A-65]
http://www.persib-bandung.or.id

08 Mei 2007

adsense






07 Mei 2007

script type="text/javascript">

Promsi







02 Mei 2007

Wisata

Wisata

TAMAN REKREASI
Hutan Djuanda, Jl. Dago Pakar
Taman Lalu Lintas Ade Irma S, Jl. Sumatra
Kebun Binatang, Jl. Taman Sari
Taman Cibeunying, Jl. Cisangkuy
Taman Maluku, Jl. Maluku
Taman Dewi Sartika, Jl. Merdeka
Taman Gedung Sate, Jl. Cimandiri
Taman Ganesa, Jl. Ganesa
Taman Cilaki, Jl. Cilaki
Taman Alun-alun, jl. Alun-alun


MUSEUM, MONUMEN DAN PATUNG
Sri Baduga, Jl. BKR No. 185
Asia Afrika, Jl. Merdeka No. 65
Geologi, Jl. Dipenogoro No. 57
Mandala Wangsit Siliwangi, Jl. Lembong 38
Pos, Jl. Cilaki No. 3
Monumen Perjuangan Jaa Barat Jl. Dipati Ukur
Monumen Bandung Lautan Api, Jl. Tegalega
Monumen Penjara Banceuy, Jl. Cikapundung
Monumen Kereta Api, Jl. Stasiun Timur
Patung Persib, Jl. Lembong
Patung Laswi, Jl. Viaduct
Patung Pastor, Jl. Seram
Patung Tentara Pelajar, Jl. Viaduct
Patung Badak, Jl. Balaikota
Patung Ikan Mas, Jl. Moch. Ramdan
Patung Maung, Jl. Wastukencana
Patung Husein, Jl. Abdurrahman Saleh
Patung Dewi Sartika, Balai Kota
Patung Juanda, Taman Hutan Raya Juanda
Patung Sepatu Cibaduyut, Jl. Cibaduyut
WISATA ALAM
Curug Dago, Jl. Dago Pakar
Punclut, Jl। Bukit Raya

GEDUNG ANTIK
Gedung Sate, Jl. Diponegoro
Gedung Bank Indonesia, Jl. Braga
Bumi Siliwangi (isola), Jl. Setiabudi
Balai Kota, Jl. Merdeka
Balai Pakuan, Jl. Kb. Kawung
Pendopo, Jl. Dewi Sartika
JALAN-JALAN KOTA
Jalan Cihampelas
Jalan Dago
Jalan Cibaduyut
Jalan Braga
Simpang 5

WISATA ROHANI
DT (Da’rut Tauhid), Jl. Geger kalong Hilir
FACTORY OUTLET, FASHION SHOP, SHOES & ACCESSORIES
M & M, Jl. Ir. H. Djuanda 81
The Big Price Cut, Jl. Aceh 66
Misyelle, Jl. Sukajadi 158
Elizabeth, Jl। Cihampelas

PROFIL WISATA SEKITAR BANDUNG
CIATERWisata pemandian air panas yang bersebelahan dengan Gunung Tangkuban Perahu dan dikelilingi oleh perkebunan teh
WADUK SAGULINGWaduk yang memanfaatkan salah satu sungai terbesar di Jawa Barat yaitu sungai Citarum merupakan juga tempat wisata. Ditempat ini terdapat pemandiam air panas Cimaseng Curug Jawa Sanghiang Tikoro
SITU CIMANGGUKolam pemandian didaerah perkebunan teh Ciwidey, dan merupakan kolam air panas.
SITU CIBURUYTerletak 22Km dari arah Kota Bandung terkenal dengan alamnya yang khas yaitu bukit-bukit kapur yang menjulang tinggi, dilengkapi dengan kedai minum, cinderamata, pentas kesenian dan fasilitas kesenian.
SITU PATENGGANGBerada di Ranca-Bali 47Km dari Kota Bandung, Kawasan ini meruakan tempat wisata yang sejuk dan dikelilingi perkebunan teh
SITU CILEUNCASitu yang luasnya sekitar 1400 hektar ini dikelilingi oleh bukit-bukit yang berpanorama menarik. Terltak 40Km arah selatan Kota Bandung. Temperatur daerah ini berkisar 16 – 23 derajat Celsius.
BUMI PERKEMAHAN RANCA UPAS Komplek Bumi Perkemahan yang berada disekitar tanaman Ecaliptus. Berjarak 42Km dari Kota Bandung kea rah selatan dengan suhu berkisar antara 18 – 23 derajat Celsius. Yang menarik diri objek wisata ini terdapat tempat penangkaran rusa.BUMI PERKEMAHAN CIKOLEBumi perkemahan seluas 4,88 hektar ini terletak pada ketinggian 1300m diatas permukaan laut. Memiliki fasilitas taman bunga, lapangan, taman area parker dll.n
TEMPAT ANDA MENGINAPBINTANG 5
Gand Aquila, Jl. Dr. Junjunan No. 116 P. 203 9280
Hyatt Regency, Jl. Sumatra 51 P. 421 1234
Grand Preanger Jl. Asia Afrika 81 P. 4231 631
Sheraton & Towers, Jl. Ir. H. Juanda No 390 P. 2500 303

BINTANG 4
Holiday Inn, Jl. Ir. H. Juanda No. 31-32 P. 421 1333
Jayakarta, Jl. Ir. H. Juanda No. 381 P. 381 P. 250 5888
Panghegar, Jl. Merdeka No. 2 P. 43 2286
Horison, Jl. Pel. Pejuang 45 No. 121 P. 730 5000
Papandayan, Jl. Jnd. Gatot Subroto 83 P. 7310 799
Savoy Homan, Jl. Asia Afrika No. 112 P. 4232244
BINTANG 3
Sahid Topas Galeria, Jl. Junjunan 143 P. 6042 631
Sukajadi, Jl. Sukajadi 74 P. 20 33 888
Internasional Imperium, Jl. Dr. Cipto 30-32 P. 420 2244
Perdana Wisata, Jl. Jend. Sudirman No. 66 P. 423 8283
Karang Setra Hotel, Spa & Cottage, Jl. Sindang Sirna 66 P. 203 1900
Malya, Jl. Ranca Bentang 56 P. 20 30 333
Santika, Jl. Sumatra 52-54 P. 420 3009